Kenangan Masa Lalu yang Tertinggal di Dalam Relung Hati (yang baca judulnya mual, silahkan persiapkan baskom)
.
.
Dalam rangka mengisi waktu vakansi-vakansian ini, si bungsu yang sedang mengerjakan tugas reading recordnya tiba-tiba bertanya, “Bunda pernah lihat kunang-kunang?”. Aku jawab, “Pernah dong, waktu kecil dulu sering malahan”. Dia menatap takjub. “Kapan-kapan Aku juga ingin lihat ya bun”, sahutnya sambil meneruskan membaca.
.
Lalu entah kenapa gara-gara pertanyaan sederhana itu, aku menjadi baper. Eh lebih kepada prihatin sih ya. Prihatin karena dibalik beragam kemudahan yang generasi sekarang rasakan, sebetulnya mereka juga telah kehilangan banyak hal, dari indah dan alaminya masa lalu.
.
Di zaman sekarang, anakku tidak lagi mengalami masa dimana mereka bisa bebas berlari penuh canda tawa di halaman rumah-rumah yang luas, atau di tanah lapang yang masih banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal, sebagaimana aku dan teman-temanku lakukan. Waktu itu kami bisa bebas bermain Petak Umpet, Boyboy-an, Gobag sodor, Betengan, Lompat tali, Sobyong, bahkan ikut kakak mengejar layangan putus sambil berlari mrono mrene sampai gosong.
.
Selain itu aku juga maen Putri Putri Melati, bekel dan loncat tali pakai gelang karet. Trus ketika selesai makan sawo isinya bisa buat main dakon, selesai makan jeruk Bali kulitnya bisa buat mobil2an, hingga batre, kardus sabun atau kotak korek api bekaspun dapat menjadi permainan yang mengasyikan bagi kami kala itu.
.
Aku dan teman sebayaku juga biasa menggunakan kuku palsu dari kulit rebung. Juga bermain pasar-pasaran, dimana ada yang bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan memberdayakan jantung pisang, pelepah pisang hingga beragam daun-daunan yang diolah menjadi sesuatu yang mirip bentuk aslinya. Semua bahan tersebut kami peroleh dari lahan-lahan kosong di sekitar rumah, tinggal ambil tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
.
Lalu di hari yang lain aku juga main ublek-ublekan dari daun waru. Masih ingat caranya kan? Jadi daun yang berbentuk love itu aku remas dengan air lalu diaduk sampai lama hingga mengental, biasanya kami saling berlomba larutan milik siapa yang paling kental dan berbusa paling banyak. Mungkin slime yang sempat ngehits di kalangan anak modern saat ini adalah hasil evolusi dari ublekan daun waru tersebut.
.
Aku juga ingat, bersama teman-teman yang lain, setiap kali melihat pesawat terbang langsung saja berteriak-teriak, “Montor Muluk njaluk duiteee”. Artinya pesawat terbang minta uang, namun pesawat terbang tetap cuek lalu berlalu dan kami tertawa bahagia, semuanya loss tanpa beban.
.
Kadang jika ingat hal itu, aku sangat bersyukur karena selama ini tidak satupun pesawat terbang yang meresponnya. Coba misalkan direspon maka sudah pasti untuk selanjutnya bukan kami yang berteriak2, tapi diambil alih oleh semua orang dewasa yang ada di dunia. Dan kami pun harus rela kehilangan salah satu moment permainan indah tanpa modal di masa kecil kami.
.
Di masa kecil itu, aku dan teman-teman semua selalu merasa aman untuk pergi kemana saja, meski tanpa pengawasan orang tua. Seringkali kami bersepeda bersama beberapa ke teman hingga ke wilayah yang agak jauh, namun Alhamdulillah nggak ada yang namanya bayang-bayang mau diculik untuk diambil organ dalamnya. Kami juga bebas berinteraksi dengan para guru, penjaga sekolah dan para penjual makanan tanpa ada rasa curiga mereka adalah predator anak-anak.
.
Ketika sudah lebih gedean, aku mengalami yang namanya berkirim surat dan menanti surat balasan dengan penuh rasa rindu. Mendengarkan cerita radio Brama Kumbara, dan mendengarkan orang-orang saling berkirim salam lewat penyiar radio. Aku juga selalu menanti tayangan serial boneka Si Unyil di setiap hari Ahad pukul 9 dan film barat Raksasa, yang baru setelah gede aku tahu judulnya adalah Land of Giant.
.
Saat SD, bapak dan ibu Guruku masih menulis di papan tulis berwarna hitam, bahkan saat SMP dan SMA pun, semua guruku bersama teman-temannya se-Indonesia masih sabar dan istiqomah menggunakannya. Aku dan teman-temanku pun juga tetap tabah jika saat giliran piket harus menghapus semua tulisan di papan tulis, sehingga butiran kapur bergerombol di tangan. Dan Alhamdulillah enggak ada ceritanya anak yang alergi gara-gara debu lembut putih dari hasil goresan kapur di papan tulis, yang dihapusnya.
.
Di masa SD, aku dan teman-teman mengalami saat-saat dimana harus rela nyeker saat berangkat atau pulang sekolah tanpa sepatu kalau sedang hujan, dan terbiasa melihat teman memakai karet gelang di kaos kakinya demi menjaga keseimbangan ketinggian antara sisi kiri dan kanan. Sungguh saat itu kami mungkin terlihat CuPu, tapi bukan MaDeSu.
.
Aku dan teman-temanku adalah generasi yang kenal wartel dan antrian di telpon umum, serta memiliki rautan pensil berbentuk bulat yang ada kaca di salah satu sisinya. Aku dan temanku juga merupakan generasi yang merasakan duduk di bangku kayu dengan meja juga terbuat dari kayu yang penuh dengan coretan hasil luapan jiwa menggunakan Tipe-X, spidol atau bolpen, bahkan beberapa teman yang berjiwa seni ada yang mengukirnya dengan cutter.
.
Aku dan generasiku adalah anak-anak muda yang mengalami masa puber seperti yang digambarkan di lagunya alm Chrisye “Anak Sekolah”, yang sering mencuri pandang teman sekolah yang ditaksir, deg-degan kirim salam buat dia lewat temannya, dan menyelipkan surat cinta di laci mejanya.
.
Aku dan teman-temanku seangkatan, juga merupakan generasi yang mengalami masa-masa merekam lagu dari siaran radio ke pita kaset tape, yang menulis lirik dengan cara play-pause-rewind, dan memanfaatkan pensil utk menggulung pita kaset yang macet. Aku juga penikmat awal Walkman dan mengenal apa itu Laserdisc dan VHS, sekaligus juga generasi yang merasakan lonjakan teknologi modern dalam berkomunikasi dengan adanya pager, sebelum lahir hand phone segede kotak pensilku sewaktu SD.
.
Aku adalah generasi yang merasakan mulai digunakannya komputer di sekolah dan bangga kalau memegang yang namanya disket karena berasa anak jenius meskipun hanya paham sedikit perintah Dos dengan mengetik copy, del, md, dir/w/p.
.
Meski saat itu belum dibilang milenial, namun aku dan temanku juga mengenal game seperti hal nya anak-anak zaman sekarang. Saat itu kami mengenal Nintendo, Game wot yang blm berwarna, serta "TAMAGOCHI", yang merupakan permainan super canggih dan modern saat itu. Dan sungguh hingga saat ini, permainan itu bagiku jauh lebih keren dari beragam permainan online saat ini, karena waktu itu kami bisa memainkannya kapan saja dan dimana saja, tanpa tergantung kuota Internet.
.
Masa remaja aku dan generasiku, tumbuh bersama para legenda cinta seperti Kla Project, Kahitna, Dewa 19, dan Padi. Kami juga adalah generasi yang jika sakit batuk cukup diobati hanya dengan larutan kecap manis dan perasan jeruk nipis, generasi yang masih bebas bermotor tanpa menggunakan helm, bebas dari sakit leher karena kebanyakan melihat ponsel, bebas manjat pohon tetangga, serta bebas manggil teman sekolah dengan nama bapaknya.
.
Saat itu aku dan teman-teman juga merupakan generasi emas bangsa Indonesia, karena kami hafal Pancasila, bahkan hingga ke butir-butirnya, sering menyanyikan lagu Indonesia Raya, Maju Tak Gentar dan beragam lagu daerah, hafal Teks proklamasi, Sumpah Pemuda, hingga nama-nama para Menteri kabinet pembangunan IV, serta seluruh provinsi yang ada di Indonesia, beserta nama rumah, pakaian, tarian serta makanan tradisionalnya.
.
Dan sekarang kesibukan generasi kami, tentu saja SELAIN KEWAJIBAN UTAMA MENDIDIK ANAK DAN MEMPERSIAPKAN BEKAL AKHERAT, adalah bahu membahu mengumpulkan teman-teman yang belum masuk menjadi anggota WAG SD, SMP, SMA, teman Kuliah, teman ngrumpi saat SD, teman ngrumpi saat SMP, teman ngrumpi saat SMA, teman ngrumpi saat kuliah dan beragam group sejenis lainnya. Selain tentu saja sibuk menjadi panitia reuni SD, panitia reuni SMP dan beragam kegiatan lain yang bertajuk sama yaitu “Koncoan sak Lawase”, yang diadakan hampir tiap tahun.
.
Plis nggak usah dibayangkan berapa jumlah WAG kami, karena aku dan yang sebaya dengaku pasti juga menjadi anggota WAG sekolah anak kami, yang meski telah lulus juga nggak mungkin keluar, sebab nama group hanya akan berganti menjadi Alumni ini, alumni itu dan alumni segala rupa. Plus WAG taklim, tahsin, tarjim, hobi ini, hobi itu, keluarga inti, keluarga sayap kiri, keluarga sayap kanan dan lain sebagainya semesta alam raya oh indahnya dunia.
.
Masyaa Allah Alhamdulillah. Sungguh aku dan teman-temanku adalah generasi yang mengalami masa-masa yang membahagiakan, tanpa ada banyak kekhawatiran berlebih. Coba bandingkan dengan generasi anak-anak sekarang yang memiliki banyak sekali persoalan hidup untuk dikhawatirkan. Mulai dari masalah kurikulum sekolah yang bebannya cukup berat, persaingan global menanti di masa depan, beragam persoalan pergaulan menyimpang para remaja, maraknya LGBT, hingga munculnya virus Corona di awal tahun ini.
.
Di masa kecilku dulu sejauh yang bisa diingat, persoalan yang paling rumit yang aku hadapi adalah issue kedatangan Paimo yang menjadi Drakula, di pelabuhan Tanjung Perak. Yang seumuran denganku mungkin ingat, dulu sempat ngeHits film “Untung Ada Saya”, yang dibintangi oleh Gepeng. Film ini berkisah tentang Drakula, sosok makhluk imajiner penghisap darah manusia, yang dibintangi oleh Paimo.
.
Mungkin karena melanggar batas aturan menonton (waktu itu aturannya film tsb tontonan bagi yang berusia 13th ke atas), aku menjadi takut setengah mati setelahnya. Jadi ceritanya tuh, saat itu di kampungku ada salah seorang warga yang memiliki sebuah video player. Nah beliau ini kemudian menyulap ruang tamu rumahnya untuk dijadikan semacam mini theatre. Video yang diputar adalah film anak-anak. Semua anak di kampungku boleh ikut menonton, asal membayar sejumlah harga.
.
Suatu saat film yang diputar adalah film yang sedang hits banget, yaitu film Drakula yang diperankan oleh Paimo. Meski tahu batasan umur menonton itu hanya untuk 13 tahun ke atas, namun karena banyak teman sebayaku yang juga menonton, maka akupun nekat ikut menonton. Wasalam, ternyata aku ketakutan setengah mati karenanya.
.
Nah ternyata teman-teman di sekolahpun juga heboh akan film ini. Kami saling bercerita seakan tokoh Drakula Paimo itu nyata dan saat itu sudah mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Ya Allah, karena kejadian tersebut, selama beberapa minggu aku tidak berani keluar rumah setiap selesai pulang sekolah, meski siang hari. Dan ketakutanku semakin bertambah ketika malam tiba, terutama saat tidur. Aku ingat sekali betapa susahnya ketika aku harus tidur dengan berkerukup selimut, dengan maksud agar ketika Drakula datang, dia tidak memangsaku sebab mengira aku sudah mati. Bukankah ketika berkerukup selimut seperti itu tampilannya menjadi seperti para jenazah yang disimpan di kamar mayat?
.
Hanya saja saat itu aku tak tahu jika di kamar mayat para jenazah mestinya tidak ada yang berkerukup dengan selimut batik ya...., sedangkan selimut masa kecilku adalah sebuah kain batik. Untunglah, usahaku yang rela bersumuk-sumuk ria dibalik selimut sebelum dapat tertidur itu nggak sia-sia karena hingga sekarang Drakula tak pernah menemukanku.
.
Ah...tak terasa 1757 kata yang sudah kutuliskan (yang gak percaya hitung sendiri). Sudah lumayan longgar kepala ini. Semoga apa yang sudah tertoreh ini jikalau tidak membawa manfaat, tetap bisa membahagiakan jiwa dan membawa semangat baru untuk menjadi lebih baik, karena sungguh semua hal ini akan dimintai pertanggung jawaban nantinya. Tak lupa juga untuk menitipkan harapan kepada para pembaca yang budiman untuk selalu berdoa agar wabah virus Corona ini bisa segera teratasi, menghilang paripurna dari seluruh penjuru negara, sebagaimana padamnya api ketika disiram air. Aamiin.
.
.
Buat para pembaca yang telah membaca, aku ucapkan tilimikicih bala-bala, pirmisi din simpi jimpi ligi!!