Sederhanakan!
Keinginan anak itu seringkali sederhana.
Kebahagiaan anak pun seringkali juga sangat sederhana.
Anak bisa saja hanya ingin
plembungan (jawa : balon), dan sudah merasa bahagia, sudah senangnya
ampun-ampunan. Atau suatu saat kita izinkan beli es lilin, juga gembiranya bisa
segede gajah 10 diiket jadi satu.
Nah yang bikin suasana ruwet,
kalau ada sodaranya ato temannya ato tetangganya ato anak di sebelahnya saat
duduk di bemo (angkot), asyik nutulin hape ato tab yang kelihatan seru n keren.
Lalu timbul keinginan dari si kecil. Ini sebetulnya wajar. Manusiawi banget.
Yang enggak wajar adalah reaksi
para ortunya yang timbul rasa kasihan "berlebihan" di hatinya
terhadap keadaan ini. "Duh kesian deh anakku, dia sendiri yang gak pegang
hape", gitu kira2 batin ortunya.
Nah ...bisa ditebak arahnya
biasanya sih akan merayu pasangannya buat naikin dana, atau pecah celengan
ayam, atau cara lain yang kalau dipikir kurang kerjaan, hanya demi bisa beliin gadget
terupdate. Katanya "Ya kebahagiaan hakiki ortu itu kan saat lihat anak
bahagia mbak. Masak iya yang lain pegang hape, anakku cuman bengong aja. Periiiiih
liatnya, perrriihhh sangaat".
Parahnya lagi, terkadang nenek
atau kakeknya juga ikutan memperlakukannya seperti itu. “Sakno rek putuku iki,
kancane podo nutul kok deweke mung ngiler wae ndelokne”. (Gak ngerti artinya?
hihihi..tanya teman sebelah gih J).
Ilustrasi seperti ini pasti
enggak akan berhenti di cerita begono kan yaaa. Keinginan manusia itu tak
terbendung. Semua ingin, apalagi jika hidup menggunakan ilmu pembanding. Walah
wes thoooo..ora bakal mari ceritane. Mbok nganti gubrak yo ora bakalan mari.
Hidup itu pilihan. Teorinya yang
benar, gunakan yang sesuai kemampuan. Dan belajar serta berusaha bersyukur
atasnya. Ada orang yang karena memang tak mampu, dia akan meredam keinginannya
meski kecil. Dia memilih menabung yang kecil itu karena masih yakin ajaran
gurunya dulu “sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit”.
Akan tetapi ada orang lain yang
memilih, “Ah hidup cuman sekali dinikmati saja berooo (dengan logat medok)”.
Nah ini orang ujungnya pasti akan selalu merasa kurang dan kemudian timbul
tagihan lewat darat, laut maupun udara. Tapi ini biasanya....biasanya lho
ya..., kalau ada yang enggak biasa plis komen dengan bahasa yang santun di
kolom yang telah disediakan J.
Ada satu lagi yang unik.
Terkadang (Baca : seringnya), orang melihat nikmat hidup seseorang
berdasarkan tampak luar. Ah si A itu punya rumah gedong, punya mobil, anak
sekolah di sekolah yahut tralala, dan sepertinya keuangan selalu stabil. Nah
yang orang tidak tahu, bagaimana si A bisa seperti itu karena menahanan
keinginananya pada kebutuhan selain yang primer. Yang sekunder dan selebihnya,
diiket oleh A jadi satu kayak gajah di atas, lalu masukin freezer. Dibekukan.
Dikasih tulisan “Do not touch!”.
Orang banyak yang enggak tahu
jika si A, jarang pelesir. Kalaupun pelesir paling yaa yang dekat-dekat saja
atau pas kebarengan ada urusan sehingga dijadikan satu dengan agenda ngemong
anak. Si A juga jarang ngafe, Kalau jajan ya yang terjangkau dan gak
sering-sering. Enggak menggunakan baju bermerk. Enggak beliin mainan anaknya
yang mihil-mihil, cukup dakon saja itupun juga dakon plastik. Enggak juga
melengkapi anaknya dengan gadget atau mainan anak kekinian yang paling uptodate
yang lagi pop dari media apapun (ig, you tube dll).
Sedangkan si B, yang merasa
underdog kemakmurannya, bisa jelong kemana-mana meski dibayari. Sering
nongkrong di cafe dengan alasan ingin menikmati hidup. Klinongannya mainan
eksklusif. Mainan anaknya pun yahud punya. Baju anak bermerk. Perlengkapan
muslimah istrinya serupa toko, semua ada n serba matching blink-blink kerlip.
Makanan segala rupa pernah dicoba. Dan masih banyak lagi kemakmuran yang
dinikmati tapi tanpa berwujud.
Bila dijelentrehkan J, jika kemakmuran yang
dimaksudkan adalah kesenangan hidup, maka hidup si B itu sebetulnya lebih
banyak seneng2nya daripada si A. Lalu dimana sih letak kesalahannya, kok si A
jadi terlihat lebih “Makmur”?
Menurut aku pribadi, karena si A
lebih mengutamakan kebutuhannya. Prinsipnya semua kewajiban selesai dulu,
kebutuhan pokok terpenuhi dulu, bila bisa memenuhi sekunder bahkan eksklusifnya
ya Alhamdulillah, jika tidak ya tetap diterima. Pakai bahasa almarhum bapak aku
“Urip kuwi kudu trimo ing pandum”. Susyahnya minta ampun ini. Jatuh bangun
seperti lagu dangdut ngelakoninnya. Tapi ha-rus, jika ingin mengelola kualitas
hidup raga dan jiwa.
Si B karena sering melihat si A
yang “makmur” jadi merasa orang yang tidak beruntung. Ini mental yang salah
sebenarnya. Kurang bersyukur bahasa agamanya. Padahal jelas dijanjikan jika
kita banyak bersyukur, maka akan ditambah nikmat yang kita rasa.
Naaaaahhh... itulah hidup temans.
Semua tergantung apa yang ingin kita tekankan. Tidak akan selesai jika kamu
memperturutkan semuanya. Hidup harus menggunakan skala prioritas tanpa ilmu
pembanding. Memang susah. Tapi bukankah susahnya menjalani hidup itu yang akan
dinilai oleh Allah SWT?. Cmiiw.
#StatusPenabokDiriSendiri
#HidupSederhanaMemangSusahTapiHarusKarenaLebihAman
#HastagPanjang J