Jogya, kekasih masa lalu dan kini bagi semua orang


Namanya Jogja,  salah satu kota padat di pulau Jawa yang entah mengapa bila disebutkan namanya selalu identik dengan kata romantis. Selama bertahun-tahun Jogja selalu mampu tampil menarik dan mengesankan, membius banyak orang untuk selalu datang lagi dan lagi. Dan rasanya juga sesuatu yang wajar bila banyak yang jatuh cinta pada kota ini.

Bagi aku pribadi, Jogja Sebenarnya adalah kota dengan banyak sudut ruwet di dalamnya tapi entah mengapa tetap menarik untuk selalu  dikunjungi. Selalu saja ada keinginan untuk kembali ke sana. Tadi saya bilang Jogya adalah kota ruwet. Mengapa?  Karena begitu banyak jiwa yang harus ditampung untuk diayominya, banyak raga yang menitipkan nasib padanya. Pelajar, pegawai, seniman dan wisatawan tumplek bleg setiap hari merayap di atasnya. Akan tetapi itu semua seakan tak mampu menyembunyikan  aura menggoda yang lahir darinya. 



Jogja adalah penggoda ulung yang pandai memikat hati siapa saja yang datang berkunjung. Begitu banyak yang telah dibuat jatuh cinta olehnya. Mulai dari kesederhanaan, keramahan, seni dan budaya, kuliner hingga ritme hidup yang berbeda dan khas menjadi alasan mengapa banyak orang tak ingin pergi dari tempat ini.

Aku pergi ke Jogja untuk pertama kalinya itu saat sudah menginjak di bangku kuliah. Saat itu aku ke kota nuansa romantis itu bersama sahabatku. Sebetulnya sebelum itu juga sudah pernah ke sana beberapa kali tapi bukan sebagai tujuan utama melainkan hanya untuk transit saja. Itulah mengapa aku baru merasa benar-benar ke Jogja saat kuliah itu.
Kebetulan saat itu kamu singgah di Solo dan Wonosobo terlebih dahulu. Dari Wonosobo aku dan temanku kemudian naik travel untuk bisa sampai di Yogya. 



Untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu uang saku yang kami bawa sebetulnya cukup, tapi karena kurangnya pengalaman untuk pengaturan keuangan selama sama travelling membuat kami gelap mata saat membeli cindera mata di banyak tempat persinggahan sebelum kami berakhir di Jogja. Walhasil saat kami di Jogja uang saku kami sudah sampai taraf kritis ha..ha..ha...

Ajaibnya selama empat hari kami tinggal di Yogya, kami tidak menemui masalah pengadaan pangan lho. Mengapa? Karena Yogya meskipun termasuk kota besar tapi kita bisa menemukan warung makan ala mahasiswa di mana-mana. Namanya saja warung mahasiswa maka komponen utama sekaligus yang menjadi syarat wajib adalah harga murah dengan jumlah yang membahana di setiap porsinya.

Kesan pertama yang akan kita rasakan selama berada di Jogja adalah sederhana dan ramah. Kekasih yang satu ini tahu betul caranya mengambil hati tiap orang yang datang. Siapa yang tak suka dengan sebuah kesederhanaan, terlebih lagi jika hal itu disandingkan dengan sebuah keramahan tanpa balas. Keduanya menjadi kolaborasi yang pas yang sudah mengakar sejak berabad-abad silam dan terus terjaga hingga sekarang.

Di tengah kuatnya pengaruh budaya-budaya asing dari luar yang tak pernah bosan menyusup masuk ke dalam budaya lokal, Jogja tidaklah lantas menyerah begitu saja. Ia tetap mampu menjaga nilai-nilai seni dan budaya yang telah ada sejak berabad-abad silam. Terkadang memang terkesan kuno, tapi disadari atau tidak, kedua hal tersebut merupakan penyeimbang kehidupan masyarakat. Seni dan budaya yang melekat padanya adalah kepribadian Jogja yang tak mungkin luruh digerus zaman.

Jogja di mata kamera, entah mengapa juga selalu terlihat rupawan. Tak ubahnya seorang model cantik nan fotogenik, ia terlihat menarik meskipun dipandang dari berbagai sudut. Paras menawannyapun juga tidak berubah sejak dahulu, bahkan semakin hari.
Hampir di setiap sudut Jogja itu mempesona. Ia hadir bagai sebuah Indonesia mini. Bayangkan saja, puluhan pantai, candi, goa, tempat belanja hingga wisata sejarah tersebar di berbagai pelosok kota gudeg ini. Sehingga wajar saja bila piknik asyik menjelah tempat-tempat menariknya adalah salah satu kegiatan wajib bagi mereka yang datang ke Jogja.


(Pixabay)

Postingan Populer